Aris Yulianto-Headline
antp Solo
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang berlaku mulai 1 Januari 2021.
Kebijakan pemerintah terkait penyesuaian kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang ditetapkan pemerintah dirasakan sangat membebani petani jika kelangkaan pupuk masih terjadi seperti di tahun 2020.
BRM Kusumo Putro, SH,MH Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga Penyelamat Asset dan Anggaran Belanja Negara Republik Indonesia ( LSM LAPAAN RI) Jawa Tengah, Jumat (8/1) mengatakan, bahwa penyesuaian HET pupuk subsidi yang diatur dalam Permentan Nomor 49 Tahun 2020, juga mengatur tentang penambahan jumlah alokasi pupuk bersubsidi pada tahun 2021.
Adanya penyesuaian menjadi naik, lanjut Kusumo tentu sangat membuat petani keberatan dalam menerimanya,
“Seperti tahun 2020, harga di pasaran tinggi kadang tidak sesuai HET tapi pupuk tersendat alokasinya,” ujarnya.
Tokoh pemuda yang cukup dikenal di wilayah Solo Raya dan tokoh pegiat anti korupsi yang disegani di wilayah Jawa Tengah tersebut berharap penambahan jumlah alokasi pupuk bersubsidi tahun 2021 cukup untuk memenuhi kebutuhan petani dalam menunjang produktivitas pangan nasional, namun harga pupuk (HET) tidak membebai bagi petani.
“Dalam Permentan No 49 Tahun 2020, total alokasi pupuk subsidi pada tahun 2021 ditetapkan sebanyak 10,5 juta ton, antara lain terdiri dari urea sebanyak 4,17 juta ton, SP-36 sebanyak 640.812 ton, ZA sebanyak 784.144 ton dan NPK sebanyak 2,67 juta ton,” ungkapnya.
Pria yang kini menempuh pendidikan Doktoral Ilmu Hukum di salah satu universitas ternama di Kota Semarang tersebut menuturkan alokasi pupuk subsidi sebanyak 10,5 juta ton ini lebih tinggi dari tahun 2020 yang sebesar 8,9 juta ton.
“Kami berharap pemerintah mempertimbangkan atau membatalkan kebijakan kenaikan pupuk bersubsidi, dalam kondisi saat ini tentu sangat kurang tepat dan memberatkan petani . Selain di tengah menghadapi pandemi Covid-19, petani juga mengalami kegagalan beberapa musim tanam. Bahkan sebelumnya menghadapi kelangkaan pupuk bersubsidi. banyak petani yang mengeluh susah dalam memperoleh pupuk bersubsidi, kadang mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yg masih menggunakan kartu tani membikin petani kesulitan,” bebernya.
Sekadar informasi, Kementerian Pertanian menerbitkan kebijakan baru melalui Permentan 49/2020 yang mengatur HET pupuk subsidi.
Dalam peraturan tersebut, harga pupuk urea yang semula Rp 1.800/Kg naik Rp 450 menjadi Rp 2.250/Kg, lalu pupuk SP-36 dari HET Rp 2.000/Kg naik Rp 400 sehingga menjadi Rp 2.300/Kg. Sementara itu, pupuk ZA mengalami kenaikan Rp 300 menjadi Rp 1.700/Kg dan pupuk organik granul naik sebesar Rp 300 dari semula Rp 500/Kg menjadi Rp 800/Kg. Hanya pupuk jenis NPK yang tidak mengalami kenaikan HET dan tetap Rp 2.300/Kg.
“Kenaikan harga tersebut sangat signifikan dan memberatkan para petani, bayangkan perkilogram naik 400 rupiah, jika dikalikan satu sak sudah sangat banyak, Kementerian Pertanian dan Perdagangan harus melakukan aksi nyata terjun ke lapangan memantau distribusi pupuk bukan hanya tampil di acara seremonial saja seperti panen raya dan pemberian bantuan alat mesin pertanian, jika perlu KPK bersama aparat penegak hukum lainnya juga mengungkap soal pupuk,” katanya.
Kusumo mengharapkan pemerintah menggenjot produksi pupuk, bibit pertanian dan obat pertanian dalam negeri guna menekan impor demi menekan biaya produksi para petani.
“Kita khan punya pabrik pupuk yang besar dan banyak mempunyai fakultas pertanian di sejumlah Universitas ternama, beri mereka kesempatan untuk berinovasi,” tukasnya.
Anggota DPC Perhimpunan Advocat Indonesia (Peradi) Solo tersebut menambahkan di Solo Raya sudah banyak terjadi petani menjual sawah dan ladangnya karena mereka merasa selalu rugi menggarap sawah dan ladang dikarenakan harga pupuk, bibit dan obat-obatan sangat mahal serta biaya operasional lainnya yang cukup besar sementara harga habah dan hasil ladang sering anjlok di pasaran.
“Belum lagi apabila sawah dan ladang diserang hama seperti tikus, wereng serta penyakit tanaman lainnya, bahkan banyak pemilik sawah dan ladang kita yang menjual sawah dan ladangnya di bawah harga pasaran karna terdesak kebutuhan ekonomi dan selalu merugi ketika menjual hasil panennya,” jelasnya.
Pada akhirnya para pebisnis dan pemilik modal menyerbu sawah dan ladang petani dengan harga rendah lalu disulap menjadi perumahan, pabrik dan bisnis usaha lainnya.
“Hal ini juga tidak lepas dari peran pemerintah yang dengan mudah memberikan perijinan bagi para pengusaha yang penting pat gulipat untung gedhe didapat para pejabat dan pengusaha tanpa memikirkan dan masa bodoh dengan dampak sosial dan dampak lingkungan,” ucapnya.
“Pembangunan pabrik banyak yang menyebabkan polusi, baik air, tanah dan udara, yang mengancam kelestarian makhluk hidup dan kesehatan manusia,” ulasnya.
Bila hal tersebut dibiarkan terus terjadi , maka suatu saat masyarakat tidak dapat melihat lagi hijaunya hamparan sawah dan ladang yang indah dan sejuk dipandang mata dan negeri ini akan kehilangan rohnya sebagai negara agraris.
Jika tidak ada yang lantang berbicara, Kusumo cemas jika masyarakat berpikir seolah-olah kehidupan petani Indonesia sejahtera, padahal kenyataannya sebaliknya.
“Sampai saat ini tidak ada yang lantang berbicara soal nasib petani, kami takut masyarakat berpendapat seolah tidak ada masalah di dunia pertanian di Indonesia,” sambungnya.
Asosiasi pertanian juga mendapat kritikan dari Kusumo, menurutnya selama ini perkumpulan tersebut dirasa tidak mampu memperjuangkan nasib petani.
“Jika merasa tidak mampu membela nasib petani dan buruh tani Lebih Baik dibubarkan saja,” tegasnya
Apabila perkumpulan atau asosiasi yang bergerak di bidang pertanian dan perkebunan serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak bergerak dan mandul serta plonga – plongo melihat hal ini maka patut diduga mereka terlibat dalam mafia dan kartel pangan dan pertanian, akhirnya tamatlah Indonesia sebagai negara agraris.
“Kebanggaan sebagai negara agraris di Khatulistiwa akan selesai bila tidak segera dicari penyelesaiannya,” tutupnya.( red)
Posting Komentar